Karena Perempuan Tua di Stasiun Kereta
Ada banyak cara untuk mencintai, salah satunya bersedia
menunggu (Kurniawan Gunadi)
“Tunggu Mas ya.”
“Maaf, aku tak bisa. Bagaimana mungkin kita
menjalani hubungan ini? Dengan jarak yang sangat jauh. Maaf Mas Adi, aku tak
bisa.”
“Tunggu Mas sebentar. Dua tahun lagi Mas akan
kembali.”
“Maaf.” Handphone
kumatikan. Aku benamkan wajahku
di bantal. Tak bisa kubayangkan bagaimana nantinya. Mas Adi, calon suamiku. Dia
berprofesi sebagai seorang pengajar. Beberapa bulan lalu, dia mengikuti program
pengabdian kepada masyarakat dari pemerintah dalam bidang mengajar. Dan
hasilnya, dia lulus dan ditempatkan di Papua.
Setelah
dia dinyatakan lulus, dia langsung menghubungi aku. Jujur saja, aku senang dia
lulus. Tapi, bagaimana dengan hubungan kami? Aku disini, dia disana. Bagaimana
mungkin aku bisa bertahan? Jika dilihat dari letak Papua yang pelosok, signal pun susah. Sudah pasti kami akan lost contact. Padahal satu tahun lagi,
kami sudah berencana untuk menikah. Tapi, gara-gara ini, pernikahan kami mau
tak mau harus diundur.
***
Kring... kring...
Suara jam wekerku berbunyi menandakan saatnya
aku harus bangun. Jam lima tepat. Bergegas aku mandi setelah itu menunaikan
kewajiban untuk shalat shubuh.
Dalam keheningan pagi aku menangis mengingat
kejadian tadi malam. Keputusan yang aku ambil untuk mengakhiri hubungan kami.
Ahh.. Mungkin inilah jalannya. Kami tidak berjodoh. Sudahlah, aku harus
melupakannya.
Aku bersiap-siap untuk pergi kerja. Pekerjaanku
mengajar juga. Sama seperti Mas Adi. Kami pun juga mengajar di tempat yang
sama.
Tut.. tut.. tut. Nada dering hndphoneku berbunyi tanda ada pesan
masuk.
Dari
: Mas Adi
Assalaamu’alaikum.
Maafkan Mas ya. Mas pamit untuk pergi. Doakan Mas agar sampai tujuan. Mas berharap,
kamu masih mau menunggu Mas pulang dua tahun lagi. Terima kasih untuk semuanya.
Wassalam
Kembali aku menitikkan air mataku. Sebenarnya
aku tak sanggup untuk melepasnya pergi. Tapi mau bagaimana lagi, keputusanku
sudah bulat. Hubungan ini memang harus diakhiri. Ingin rasanya aku membalas
pesannya untuk terakhir kali. Tapi, sudahlah.
***
Untuk
pertama kalinya dalam hidupku aku naik kereta api saat pergi mengajar.
Biasanya, aku pergi dengan Mas Adi. Tapi beda dengan hari ini dan hari
seterusnya. Aku tak pergi mengajar bersamanya lagi. Ahh... kenapa aku harus
mengingatnya lagi?
Sampai
aku di Stasiun Kereta Api Medan. Aku memesan tiket jurusan Medan-Binjai. Aku
mengajar di daerah Binjai. Jauh memang dari Medan. Di jadwal tertera perjalanan
ke Binjai memakan waktu setengah jam. Biasanya, kalau perjalanan dengan Mas Adi
memerlukan waktu satu jam. Memang lebih lama. Tapi karena lebih memilih
keamanan dan juga orang tuaku sudah percaya dengan dia makanya aku pergi dengan
dia.
Lima
menit lagi kereta sampai di stasiun. Untuk mengisi waktu, aku coba untuk
melihat-lihat keadaan stasiun. Menurutku, stasiun ini lumayan bersih. Terdapat bagian
untuk menunggu kereta, musholla, dan juga ada bagian khusus di stasiun ini
untuk penumpang tujuan Bandara Kualanamu. Bagiannya berbeda, letaknya di lantai
dua.
Saat
melihat-lihat, tanpa sengaja mataku jatuh tertuju pada seorang perempuan tua.
Dengan daster yang dipakainya sudah lumayan lusuh dan tanpa sendal. Dia sedang
duduk di bagian ruang tunggu. Dia diam terpaku dengan pandangan kosong kedepan.
Akhirnya
kereta api yang ditunggu pun datang. Penumpang yang ada dalam kereta turun.
Setelah semuanya turun, penumpang yang baru menaiki kereta. Begitu juga dengan
aku. Aku mencari tempat duduk yang dekat dengan jendela. Khusus kereta tujuan
Medan-Binjai atau sebaliknya tidak pakai nomor tempat duduk. Atau dengan kata
lain, duduknya bebas.
Saat
duduk, kembali mataku tertuju pada perempuan tua itu. Kini, dia telah berdiri
di samping gerbong kereta. Dengan tongkat sebagai penyokongnya berdiri. Sorot matanya
tidak lepas menatap kereta. Perempuan tua itu seperti menunggu kepulangan
seseorang. Aneh menurutku.
Kereta
lambat laun bergerak meninggalkan stasiun. Kembali aku lirik perempuan tua itu.
Ternyata ia sudah tidak ada. Mungkin dia sudah pulang karena telah bertemu
dengan orang yang dia tunggu. Aku tidak ambil pusing. Kembali aku menikmati
perjalananku.
***
Pulang
tiba. Aku pulang juga menaiki kereta api. Perjalanan Binjai-Medan juga memakan
waktu setengah jam. Sesampainya di stasiun, kembali aku melihat perempuan tua
itu di posisinya saat aku hendak pergi tadi pagi. Ada apa dengan perempuan tua
itu? Ada yang ganjil sepertinya. Ahh... sudahlah. Apa peduliku?
Tut... tut... Nada dering handphoneku berbunyi tanda ada pesan masuk. “Huft... Dia lagi”
Dari
: Mas Adi
Assalaamu’alaikum.
Mas sudah sampai. Sekali lagi maaf ya. Ini sms terakhir Mas karena ketika sudah
di lokasi, Mas sudah tak bisa menghubungi kamu. Jaga diri baik-baik ya.
Wassalam.
Kenapa dia masih berharap padaku?
***
Hari kedua aku naik kereta api. Seperti biasa,
aku pesan tiket dan menunggu kereta datang. Setelah datang, aku masuk untuk
memilih kursi favorit, dekat jendela. Kembali aku melihat perempuan tua itu.
Tetap di tempat dan posisi yang sama. Tidak ada yang berubah. Dan kali ini ada
yang berbeda. Dan ketika kereta hendak pergi, aku melihat ia dituntun oleh
seorang perempuan muda. Si perempuan muda membawa si perempuan tua pergi.
Hal yang sama juga terjadi di sore hari saat
aku pulang. Sama seperti tadi pagi, perempuan tua itu tetap di tempat biasa.
Dan juga kali ini aku melihat ia dibawa pergi oleh perempuan muda yang sama
yang aku lihat tadi pagi. Aneh, mau dikemanakan perempuan tua itu. Aku coba
untuk mengikuti mereka. Sudah terlambat. Mereka sudah menghilang.
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. Kejadian
ini bukan hanya terjadi sekali atau dua kali. Tapi setiap hari. Pagi dan sore
aku selalu bertemu dengan perempuan tua itu. Tatapan yang kosong yang penuh
suatu penantian. Aneh. Aku coba untuk tanyakan ke orang-orang sekitar.
“Pak, bapak tau perempuan tua itu?” tanyaku
pada salah seorang cleaning service.
“Gak tau pula aku kak. Memang, perempuan tua
itu selalu berada disitu. Setiap hari. Dari awal aku kerja sampai sekarang.”
“Oh gitu. Terima kasih ya pak.” Aku
meninggalkan bapak itu dengan rasa penasaran yang teramat sangat.
***
“Kenapa kamu gelisah begitu Nita? Adi lagi?
Tapi katanya mau move on?”
“Gak ma bukan itu.”
“Lantas apa? Jujur deh. Kamu gak bisa move on kan?”
“Iss mama ini. Bukan loh”
Akhirnya
aku ceritakan semua keanehan yang aku alami selama beberapa hari semenjak aku
naik kereta api. Tentang perempuan tua itu, perempuan muda yang membawanya.
Semua aku ceritakan.
“Ya, kenapa kamu tidak menemui perempuan tua
itu?”
“Kemarin sudah Nita coba ma. Tapi keburu
kehilangan jejak.”
“Ya sudahlah. Jangan kamu pikirkan. Pikirkan
itu hubunganmu dengan Adi. Harus disambung lagi ya. Hihihi.”
“Kenapa bahas dia lagi sih ma?”
Sebel kalau harus bahas itu orang. Sudah
tak dipikirkan lagi. Terkadang. Yang aku pikirkan hanya perempuan tua itu.
Siapa dia? Aku tetap penasaran dengan perempuan tua itu. Sudah aku putuskan.
Minggu ini, aku akan coba untuk menemui perempuan tua itu.
***
Tibalah
hari minggu. Sesuai dengan rencana, aku akan menemui perempuan tua itu. Aku pun
pergi ke stasiun. Tepat dugaanku, dari jauh sudah terlihat, perempuan itu
berada di tempat biasa dimana ia selalu berada. Tapi, dia sudah diajak oleh
perempuan muda itu.
“Eh, bu. Tunggu dulu.” Aku coba untuk mengejar
perempuan tua itu.
“Sial. Udah keburu pergi. Eh bentar dulu. Apa
ini? Foto?”
Aku menemukan sebuah foto di tempat perempuan
tua itu tadi. Foto seorang perempuan dengan seorang lelaki di pelaminan.
“Foto siapa ini ya? Seperti pernah kenal.”
Aku
bawa pulang foto itu. Ketika di rumah aku perhatiakan foto itu secara seksama.
Aku baru tersadar. Sepertinya ini punya perempuan tua itu. Memang perempuan tua
itu selalu membawa sesuatu di tangannya.
“Besok aku harus bertemu dengannya. Harus!!”
***
Esok
harinya aku kembali ke stasiun. Aku sudah izin untuk tidak mengajar satu hari
karena ada urusan. Aku pergi ke stasiun lebih pagi dari sebelumnya. Ternyata
aku kecepatan. Perempuan tua itu belum datang. Aku tunggu selama beberapa
menit. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang. Perempuan tua datang dengan
perempuan muda yang sama. Perempuan tua itu ditempatkan ke tempat biasanya dia
berada. Perempuan muda itu meninggalkannya sendiri.
“Ini kesempatanku.” Aku mendekati perempuan tua
itu sambil membawa foto yang aku temukan.
“Assalaamu’alaikum bu.” Sapaku ramah mendekati
perempuan tua itu. Perempuan tua itu menoleh melihatku dengan tatapan sayu
tanpa menjawab salamku lalu kembali menatap lurus ke depan. Garing kurasa suasananya. Aku coba
menyapanya lagi.
“Apakah ini punya ibu?” kuberikan foto yang aku
temukan semalam. Perempuan tua itu langsung merampas foto yang ada di
genggamanku. Dia memberi syarat kalau dia sedang marah. Aku kembali diam. Ada
apa dengan perempuan tua ini?
“Maaf kak. Kakak siapa ya?” sapa seorang
perempuan. Aku tersadar dari diamku. Ternyata perempuan muda itu. Dan juga
tentang foto itu.
“Oh iya. Maaf sebelumnya. Saya Nita.”
“Saya Rita kak. Ada keperluan apa ya kak?” Aku
ceritakan semua rasa penasaranku tentang perempuan tua itu pada Rita.
“Maaf kak sebelumnya. Perempuan tua yang kakak
sebut ini adalah nenek saya kak. Namanya Rosmia. Di stasiun kereta api adalah
aktifitas rutinnya. Dia sedang menunggu seseorang kak.”
“Siapa?”
“Kakak tau foto yang ada di genggamannya?
Semalam sempat hilang. Di rumah, nenek saya menangis terus karena kehilangan
foto itu. Untung kakak menemukannya.”
“Siapa yang ada di foto itu?”
“Bentar ya kak. Kakak lihat ini dulu.”
Rita
mencoba menunjukkan sesuatu kepadaku. Kereta api datang tanda penumpang akan
turun. Seketika aku lihat, perempuan tua itu langsung berdiri seakan menyambut
para penumpang kereta api yang akan turun. Perempuan tua itu mendekati pintu
masuk kereta. Ya.. Benar kata Rita, perempuan tua itu sedang menunggu
seseorang.
“Kan nek, sudah Rita bilang. Dia bukan di
kereta ini.” Kata Rita kepada Bu Rosmia, neneknya.
“Ayo kita duduk lagi nek.” Bu Rosmia menuruti
apa kata cucunya. Kembali Bu Rosmia kedalam keheningannya. Tatapan kosongnya.
“Kakak sudah lihat kan? Nenek saya sedang
menunggu kepulangan suaminya, kakek saya kak. Kakek saya yang ada di foto itu.
Foto itu adalah foto pernikahan mereka.” Kata Rita dengan raut wajah yang mulai
berubah. Sedih.
“Kemana kakek kamu?”
Rita
menceritakan kejadian yang di alami kakeknya beberapa tahun silam. Sebenarnya
kakeknya sudah lama meninggal 40 tahun lalu. Meninggal karena terkena bom. Kakeknya
adalah seorang pejuang veteran dalam menumpas G30S/PKI. Jasadnya tidak
ditemukan. Kakeknya meninggalkan neneknya ketika baru saja menempuh hidup baru.
“Terus, apa hubungannya dengan stasiun kereta
api?”
“Maaf kak sebelumnya. Sebenarnya saya ini bukan
cucunya. Saya hanya seorang perawat kak membantu ibu saya merawat Bu Rosmia.”
“Loh jadi ibu ini hidup sebatang kara?”
“Iya kak. Bu Rosmia hidup sebatang kara. Ibu
saya menemukannya di dalam rumahnya terpasung. Saat itu, ibu saya yang juga
seorang perawat sedang dalam masa tugas di daerah Bu Rosmia tinggal. Ketika
sampai di daerah itu, tanpa sengaja ibu saya melihat ada suara gaduh di rumah
Bu Rosmia. Ternyata, ibu ini histeris karena kakinya sudah terpasung. Menurut
keterangan tetangga-tetangganya, ibu ini selalu pergi ke stasiun kereta api
setiap hari sambil membawa foto ini. Tetangganya menganggap bahwa Bu Rosmia
gila. Maka dari itu dia dipasung kak. Bu Rosmia saat itu benar-benar dalam
keadaan kacau. Ibu saya yang tidak tegaan, langsung membawa ibu ini kerumah
sakit tempat ibu saya bekerja. Di rumah sakit itu, ibu ini dirawat selama
beberapa hari. Selama beberapa hari di rumah sakit, ibu saya banyak mendapat
info tentang ibu ini.“
“Apa itu?”
“Yang sudah saya ceritakan tadi salah satunya.
Asal kakak tau, Bu Rosmia ini sangat mencintai suaminya. Kenapa dia selalu
menunggu suaminya di stasiun kereta api? Karena mereka berpisah di stasiun ini
kk. Kalau mendengar cerita ibu saya tentang ini, rasanya ingin nangis kak.”
“Kenapa?”
“Gini kak kata suaminya, “Kalau kamu mencintai
aku, berjanjilah untuk menunggu aku pulang ya. Aku janji akan pulang.” Dan Bu
Rosmia telah berjanji, makanya Bu Rosmia tetap menunggu suaminya pulang.”
“Terus tentang Bu Rosmia yang gila? Apakah itu
benar?”
“Gak kak. Gak benar. Bu Rosmia tau sebenarnya
suaminya telah lama meninggal. Awalnya Bu Rosmia frustasi kak ketika tau
suaminya sudaah meninggal. Tapi lama kelamaan frustasinya makin menjadi-jadi
hingga dia hilang ingatan kak. Yang di ingatnya hanya suaminya yang berjanji
akan pulang melalui stasiun kereta api ini.”
“Bagaaimana dengan pihak stasiun?”
“Bu Rosmia sudah mendapatkan izin kak. Kami
yang memintanya.”
Tanpa
terasa air mataku sudah menetes membasahi pipiku. terharu dengan kekutan cinta
perempuan tua itu. Iya, perempuan tua yang bernama Bu Rosmia. Teringat aku akan
Mas Adi tentang keputusanku mengakhiri hubungan kami.
“Maaf ya kak. Kami harus pergi. Nanti sore kami
akan kembali lagi kesini. Seperti biasa kak. Senang kenal dengan kakak.”
“Iya Rita. Saya juga senang kenal dengan
kalian. Terima kasih ya.”
Rita
dan Bu Rosmia pergi meninggalkan stasiun. Ada banyak pelajaran yang aku dapat
hari ini. Tentang kekuatan cinta. Kembali teringat akan Mas Adi. Aku coba untuk
menelepon dia beberapa kali. Percuma, gagal. Tidak tersambung sama sekali. Aku
khawatir.
Tiba-tiba datang sebuah pesan...
Dari
: Mas Adi
Apa
kabar Nita? Baik kan? Mas disini baik-baik saja. Bagaimana mengajarmu? Maaf mas
baru bisa menghubungi kamu karena kamu kan tau tidak ada signal disini.
Kebetulan mas lagi dikota jayapura, dan ada signal juga, buru-buru mas sms
kamu. Ya walaupun mas tau kamu tak akan membalasnya. Miss you...
Ternyata
dari Mas Adi. Menetes kembali air mataku. Buru-buru aku membalas pesannya sebelum
dia pulang ke tempatnya mengajar.
Mas,
maafkan aku. Maaf mas, kemarin aku khilaf Mas. Aku gak mau pisah denganmu. Aku janji
akan menunggumu pulang dua tahun lagi. Hati-hati ya disana. Semoga kamu tetap
dalam lindunganNya.
Aku tekan tombol send. Terima kasih Bu Rosmia. Terima kasih akan pelajaran hidup yang
telah engkau beri padaku.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar