Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2014

Cuplikan Buku Hujan Matahari (Karya Kurniawan Gunadi)

Gambar
Matahari tidak pernah meninggalkan bumi sekalipun bumi tidak mampu melihatnya, entah tertutup oleh mendung gelap atau hujan lebat.  Sekalipun bumi tidak bisa merasakan kehadirannya di malam hari, matahari titipkan cahaya cintanya kepada bulan. Matahari memberi ruang kepada bumi agar paham, bahwa ada atau tiadanya matahari, langit tetaplah menawan. Matahari tidak pernah meninggalkan bumi, pada jarak yang sama bertahun-tahun.  Matahari dan bumi adalah dua hal yang memang berlainan. Terlalu dekat akan membuat keduanya saling meniadakan. Mungkin cukup seperti ini hubungan matahari dan bumi.Tidak untuk saling berdekatan tetapi dengan jarak yang cukup aman untk saling mencintai. Toh mencintai itu tidak selalu berarti harus berdekatan dan memiliki, bukan? Tidak selalu berarti bahwa cinta itu harus bertemu dan bersatu. Cinta tanpa pertemuan? Bisa saja terjadi. Seperti ketika aku mencintai orang di masa depan yang bahkan belum pernah aku temui. Cinta yang diwujudkan dalam doa-doa dan

Senja, Aku Ingin Pulang

Kisah Mereka

Kawan... Aku ingin bercerita Ini tentang anak manusia Satu wanita, tiga pria Menjalin persahabatan Sejak zaman sekolahan Lucu mereka kawan.. Berawal dari kesamaan Kesamaan hati Karena telah disakiti Oleh orang yang mereka cintai Suatu ketika Ada sebuah rasa Rasa yang terselip karena terbiasa Sang wanita jatuh cinta Pada salah satu diantara 3 pria Mereka bergejolak Terucap persahabatan harus sampai disini Tetapi salah satu diantara mereka tak bergeming Persahabatan ini tak boleh usai Persahabatan ini akan tetap bertahan Sampai waktu yang memisahkan Suatu waktu... Mereka terpisah Menuruti kata hati Untuk mencari jati diri Menggapai cita-cita Dalam sebuah untaian asa Tetapi mereka telah berjanji Mereka akan kembali Kini... Mereka telah kembali Kembali dari perantauan diri Membawa kembali serpihan rasa Membawa kembali serpihan asa Mereka rajut kembali Dengan untaian cerita hidup yang telah mereka alami Ika Prat

Buah Kerja Ayah

Kring... Kring. Jam wekerku berbunyi tepat pukul lima. Aku bangun dari singgasana nyamanku. Aku laksanakan kewajibanku menunaikan shalat shubuh. Setelah selesai, aku bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat, aku sempatkan diri untuk sarapan. “Ayah, ayah sedang apa?”  aku ke dapur dan ayah sedang mempersiapkan sesuatu. “Ayah lagi buat sarapan kita ini,” sambil membawa makanan yang sudah siap ke meja makan. “Ayah kan bisa suruh aku yah, kenapa harus repot-repot.” Aku hanya geleng-geleng liat tingkah ayah. Biasanya ibu yang siapkan sarapan. Tetapi karena beberapa hari yang lalu ibu meninggal, dan para saudara yang hadir telah pada pulang. Mau gak mau ayah menggantikan posisi ibu. Sebenarnya aku bisa melakukan semuanya tapi ayah selalu melarangku. “Sudah, belajar sana. Ayah bisa kok.” Itulah kata-kata yang selalu terucap ketika aku hendak membantunya. Seperti pagi ini, tak biasanya ayah memasak. Biasanya ada pembantu yang masak, tapi entah mengapa hari ini pembantu

Kerupuk Udang

Shubuh yang indah di pinggiran kota Surabaya. Mamat bangun dari tidur lelapnya. Mamat, anak kecil yang baru berumur 8 tahun bersiap-siap untuk menantang kerasnya dunia. Mamat anak paling besar. Dia mempunyai 2 adik. Ayahnya sudah lama meninggal sejak Mamat masih berusia 2 tahun. Maka dari itu, ia juga bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Mereka  tinggal di bantaran sungai kota Surabaya. Mereka sudah tinggal selama 2 tahun. Mereka sudah tidak punya tempat tinggal. 2 tahun lalu, rumah peninggalan ayahnya digusur paksa oleh aparat karena di daerah rumahnya tinggal akan dibangun suatu pusat perbelanjaan. Mamat bekerja sebagai kuli angkut di pasar di daerah kota Surabaya. Maka dari itu, pagi-pagi sekali, Mamat harus udah standby di pasar. Ibunya bekerja sebagai pemulung. Seperti pagi ini,  jam 5.30 pagi Mamat sudah berada di pasar menjual jasa angkutnya. Karena jika lewat dari jam segitu, Mamat bisa ketinggalan pelanggan karena sudah diambil oleh teman seprofesinya yang lain.

Pertolongan Allah Itu Dekat

Yakinlah Ukhti, Allah selalu bersama kita “Bu, mbak pergi dulu ya” “Mau kemana mbak?” “Ada agenda bu di kampus. Halaqah dan ada agenda lain” “Oh ya sudah. Hati-hati mbak” “Iya bu” Aku langkahkan kakiku dengan riang saat keluar rumah. Mentari sangat cerah hari ini. Ah... senangnya. Sudah lama tidak bersua dengan satu lingkaranku. Karena sudah masuk masa libur semester, dan materi halaqahnya  sudah habis. Jadi, untuk halaqah hari ini, hanya diisi dengan agenda rihlah dan temu kangen dengan mereka. Tak sabar. Malamnya, Aku sudah mempersiapkan semuanya. Aku berangkat dari rumah naik angkutan umum lalu diteruskan dengan naik kereta api tujuan Binjai-Medan. Maklum, karena aslinya bukan orang Medan. Jadi, kalau udah libur begini, mau tak mau, kalau ada agenda di kampus, berangkatnya langsung dari rumah. 15 menit lagi sampai di kampus. Aku ambil uang di dompet untuk siap-siap membayar ongkos. Aku tersadar. Ternyata, uang di dompet pas-pasan. Hanya cukup untuk pulang. Aku k

Ini Prinsip (Teruntuk Muslimah Tangguh)

Gambar
                      Telah masuk bulan penuh berkah yaitu bulan ramadhan. Bagaimana tidak berkah? Bukankah Allah telah berjanji, pada bulan ini semua kegiatan kita yang baik akan mendapatkan pahala. Tidur saja dapat pahala. Sangat berkah bukan?             Seperti biasa, salah satu kegiatanku saat bulan puasa, wajib juga untuk dilakukan adalah buka puasa bersama teman-teman. Seperti hari, aku telah janjian bersama teman-teman semasa SMAku untuk buka puasa bersama. Acara seperti ini bisa dikatakan acara temu kangen pada teman-teman lama yang sudah lama tidak bersua. Karena masing-masing dari kami sudah sibuk dengan urusannya, jadi cuma acara-acara seperti ini yang hanya bisa mengumpulkan kami semua. Senangnya... Akhirnya bisa kumpul dengan mereka.             Sesuai dengan kesepakatan bersama, buka puasa kali ini diadakan di rumah salah satu temanku yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku dan juga harus sudah datang tepat waktu pukul lima sore. Satu persatu teman-temank

Karena Perempuan Tua di Stasiun Kereta

Ada banyak cara untuk mencintai, salah satunya bersedia menunggu (Kurniawan Gunadi) “Tunggu Mas ya.” “Maaf, aku tak bisa. Bagaimana mungkin kita menjalani hubungan ini? Dengan jarak yang sangat jauh. Maaf Mas Adi, aku tak bisa.” “Tunggu Mas sebentar. Dua tahun lagi Mas akan kembali.” “Maaf.” Handphone kumatikan. Aku benamkan wajahku di bantal. Tak bisa kubayangkan bagaimana nantinya. Mas Adi, calon suamiku. Dia berprofesi sebagai seorang pengajar. Beberapa bulan lalu, dia mengikuti program pengabdian kepada masyarakat dari pemerintah dalam bidang mengajar. Dan hasilnya, dia lulus dan ditempatkan di Papua.             Setelah dia dinyatakan lulus, dia langsung menghubungi aku. Jujur saja, aku senang dia lulus. Tapi, bagaimana dengan hubungan kami? Aku disini, dia disana. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan? Jika dilihat dari letak Papua yang pelosok, signal pun susah. Sudah pasti kami akan lost contact. Padahal satu tahun lagi, kami sudah berencana untuk menikah. Tapi, gara-