Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Bapak

Bapak Ika Pratiwi Karena dari bapak, kita belajar bahwa sejatinya cinta bukan dari ucapan namun dari tindakan.- Ibu “Bu, hari ini bapak pulang kan?” rengekku.             Aku gelisah. Bapak belum pulang dari luar kota karena masih ada kerjaan. Dan aku besok ber-ulang tahun yang ke 5 tahun. Apa bapak gak ingat ulang tahunku ya? “Pulang sayang. Tunggu saja ya.” Dan bapak juga tidak pulang dan lupa dengan ulang tahunku. Bapak jahat! ***             Masih membekas di ingatan segala sesuatu yang berhubungan dengan bapak. Tingkah lakunya, perlakuannya, semuanya. Bapak itu tidak baik, versiku. Dulu. Namun kata ibu tidak demikian. Bapak baik! Dari mana baiknya? “Bu, kenapa ibu mau dengan bapak? Bapak tidak romantis, cenderung aneh, pelupa, humoris apalagi. Apa sih yang dilihat dari bapak?” “Karena bapak itu baik. Mungkin kamu belum paham dimana letak kebaikan bapak. Percayalah nak, bapak baik.” Ah, ibu selalu meluruskan pemikiranku tentang bapak.             Bapak it

Sang Penari

Sang Penari Ika Pratiwi “Kalau besar nanti jadi penerus Ibu ya nak. Jadi penari.” “Iya bu.” ***             Masih teringat jelas harapan Ibu tentang masa depanku. Menjadi seorang penari. Ah, bu. Andai Ibu masih hidup, aku akan menceritakan semua yang telah aku alami semenjak Ibu tidak ada. Perjuangan meraih impianmu dan juga impianku namun tanpa menentang perintahNya. Mungkin Ibu akan kecewa akan keputusanku setelahnya. Baiklah Bu, akan aku ceritakan.             Sore itu, selepas hujan di sudut Kabupaten Bandung, untuk pertama kalinya Ibu memperkenalkanku mengenai dunia tari ang sesungguhnya. Umurku saat itu masih lima tahun ketika Ia membawaku ke sebuah tempat dimana aku akan memulai impanku. Sanggar Tari Pertiwi.             Tempatnya luas. Bahkan sangat luas. Ada banyak tempat yang memiliki kegunaannya masing-masing. Ketika pertama kali masuk, akan dijumpai ruangan terbuka yang merupakan pendopo sanggar. Biasanya di ruangan  ini sering dilakukan pagelaran yang pema

Dampak

  Siapa yang menebar angin, maka ia yang akan menuai badai... “Anak-anak . Apa yang sedang kalian lakukan?” Caca dan Cici menjadi salah tingkah. Mereka langsung memegang benda lain yang ada disekitar mereka. “Astaghfirullah. Apa ini? Kenapa kalian membuang sampah yang ibu suruh kumpulkan tadi ke laut sayang? Kan ada tong sampah.” “Maafkan kami bu. Kami tidak tahu. Kami hanya ingin melihat rumah kita bersih. Maaf bu. Lagi pula bu, masyarakat sekitar juga membuang sampah di laut. Lautnya kan sudah kotor bu kita kotorkan saja sekalian.” Kata Cici yang umurnya lebih tua lima menit dari Caca.             Hari ini adalah hari libur. Sudah menjadi hal lumrah bagi si kembar yang saat ini menginjak umur lima tahun pergi berlibur. Seperti hari ini, mereka diajak ke daerah pesisir yang terkenal kumuh di provinsi. Awalnya senang diajak berlibur. Namun, raut wajah seketika berubah melihat kondisi. Bu, kenapa kita liburan disini? Kira-kira seperti itulah kata hati mereka. Orangtua mereka,

Antologi Kertas

Aku Rena. Suka kertas. Tidak tau mengapa bisa suka. Mungkin ini semua gara-gara Rino, sahabatku. Rino suka kertas. Sudah lama. Di kamarnya juga banyak kertas. Kebanyakan yang warna-warni. Biasanya dia membuatnya menjadi bentuk-bentuk yang lucu. Kemudian dihias di kamarnya. Atau bentuk-bentuk yang lucu itu diberikan ke aku. Aku suka. Dan suka Reno juga.             Aku dan Rino sudah berteman sejak kecil. Berawal dari kedua orangtua kami yang sudah bersahabat dari kecil juga, mamaku dan mama Rino. Mereka berdua tidak bisa terpisahkan. Lengket kayak kertas perangko. Alhasil, mereka bersepakat setelah menikah nanti rumahnya bersebelahan. Otomatis, kedua anaknya juga ikut-ikutan “tradisi” turun temurun dari orangtuanya, yaitu “tradisi” persahabatan.             Aku sayang Rino, banget. Dia selalu ada untukku di saat aku sedih. Menghiburku dengan kertas-kertas lucunya. “Ena, kenapa?” Ena, panggilan sayang Rino untukku. “Ino, lihat ini. Kertas bentuk burung yang kamu kasih samaku ro