Buah Kerja Ayah
Kring... Kring. Jam
wekerku berbunyi tepat pukul lima. Aku bangun dari singgasana nyamanku. Aku
laksanakan kewajibanku menunaikan shalat shubuh. Setelah selesai, aku
bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat, aku sempatkan diri
untuk sarapan.
“Ayah, ayah sedang apa?” aku ke dapur dan ayah sedang mempersiapkan
sesuatu.
“Ayah lagi buat sarapan kita ini,”
sambil membawa makanan yang sudah siap ke meja makan.
“Ayah kan bisa suruh aku yah, kenapa
harus repot-repot.” Aku hanya geleng-geleng liat tingkah ayah. Biasanya ibu
yang siapkan sarapan. Tetapi karena beberapa hari yang lalu ibu meninggal, dan
para saudara yang hadir telah pada pulang. Mau gak mau ayah menggantikan posisi
ibu. Sebenarnya aku bisa melakukan semuanya tapi ayah selalu melarangku.
“Sudah, belajar sana. Ayah bisa kok.” Itulah kata-kata yang selalu terucap
ketika aku hendak membantunya. Seperti pagi ini, tak biasanya ayah memasak. Biasanya
ada pembantu yang masak, tapi entah mengapa hari ini pembantunya tak terlihat.
***
Beberapa
hari ini, aku melihat tingkah ayah yang sedikit aneh. Ayah lebih sering ke
dapur, lebih sering masak. Buat-buat kue juga. Dan itu menjadi kebiasaannya
setiap pagi dan sore hari. Selalu di dapur. Pembantuku pun sudah tidak terlihat
lagi. Pertanyaan besar bagiku. Apa ayah gak kerja? Beberapa terakhir ini pun
ayah selalu ada di rumah waktu aku pulang sekolah. Biasanya, waktu masih ada
ibu, ayah selalu pulang sore, bahkan bisa sampai malam. Aku beranikan diri
untuk bertanya.
“Ayah kok sering pulang cepat? Apa
ayah gak kerja?”
“Ayah memang sedang gak kerja sayang,
masih libur.”
“Pembantu kita kemana yah? Terus ayah
kok sering ke dapur? Aneh.”
“Pembantu kita sedang libur sayang.
Ayah sering ke dapur agar ayah bisa masak dan menyenangkan hati kamu. Dan kamu
gak sedih-sedih lagi.” Aku hanya tersenyum mendengar pernyataannya. Ya memang.
Setelah ibu gak ada, aku masih sering merasa sedih.
***
“Ini surat apaan?” tanpa sengaja aku
menemukan sebuah surat di atas meja kamarnya saat aku hendak membereskan
kamarnya sebelum aku berangkat ke sekolah.
“Ayo kita sarapan.” Tiba-tiba ayahku
masuk ke kamarnya dan memanggilku untuk sarapan. Suratnya langsung aku masukkan
ke dalam kantong.
“Iya ayah.” Aku pun sarapan bersama
ayah. Surat itu akan aku buka waktu di sekolah.
***
Aku
sampai di sekolah. Sebelum masuk ke kelas, aku ke taman sekolah. Aku ambil
suratnya dari kantong dan aku baca isinya.
“Astaghfirullah, ayah di PHK?” aku
kaget bukan kepalang. Mengapa ayah sembunyikan semua ini? Air mataku sudah tak
bisa terbendung lagi. Aku menangis.
***
Ketika
pulang aku ke taman untuk menenangkan diri. Aku sedih dengan cobaan yang
menimpa keluargaku.
“Kue, kue, kuenya buk, pak.” Seorang
pria menjajakan kue dari kejauhan. Seperti kenal suaranya.
“Ayah!!” Ternyata itu suara ayahku.
Ayahku kaget mendengar teriakanku.
“Kenapa ayah gak cerita samaku yah?”
“Maafkan ayah sayang.” Ternyata
ayahku tak ingin melihatku semakin sedih. Ayah belajar masak seperti kue-kue
hanya untuk mencukupi kehidupan kami.
“Ayah terima kasih. Untuk itu,
biarkan aku ikut berjualan ya.” Ayah tak bisa menolak permintaanku. Semenjak
itu, kami semakin giat berjualan kue, hingga akhirnya kami mempunyai toko bakery milik kami sendiri.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar