Sang Penari

Sang Penari
Ika Pratiwi

“Kalau besar nanti jadi penerus Ibu ya nak. Jadi penari.”
“Iya bu.”
***
            Masih teringat jelas harapan Ibu tentang masa depanku. Menjadi seorang penari. Ah, bu. Andai Ibu masih hidup, aku akan menceritakan semua yang telah aku alami semenjak Ibu tidak ada. Perjuangan meraih impianmu dan juga impianku namun tanpa menentang perintahNya. Mungkin Ibu akan kecewa akan keputusanku setelahnya. Baiklah Bu, akan aku ceritakan.
            Sore itu, selepas hujan di sudut Kabupaten Bandung, untuk pertama kalinya Ibu memperkenalkanku mengenai dunia tari ang sesungguhnya. Umurku saat itu masih lima tahun ketika Ia membawaku ke sebuah tempat dimana aku akan memulai impanku. Sanggar Tari Pertiwi.
            Tempatnya luas. Bahkan sangat luas. Ada banyak tempat yang memiliki kegunaannya masing-masing. Ketika pertama kali masuk, akan dijumpai ruangan terbuka yang merupakan pendopo sanggar. Biasanya di ruangan  ini sering dilakukan pagelaran yang pemainnya para penari dari sanggar. Masuk agak ke dalam sanggar, akan lebih banyak ditemukan lagi ruangan terbuka khusus tempat latihan murid. Ruangan tempat latihan dibagi berdasaran usia. Ada balita (0- 5 tahun), anak-anak (6-12 tahun), remaja (13-20 tahun), dewasa (21-50 tahun), dan lansia (51 tahun ke atas). 
            Sebelum menjadi murid sanggar, setiap yang ingin masuk harus di tes kembali kemampuan tarinya. Pada saat itu banyak anak-anak baru yang ingin masuk ke sanggar. Mereka di tes satu persatu. Tibalah giliranku.
“Nama kamu siapa nak? Umur kamu?”
“Melati bu. 5 tahun.”
“Baik. Silahkan bawakan satu tarian.”
            Aku coba bawakan tari Srimpi. Tarian yang aku suka. Tentu saja ibu juga suka.
“Wah, menakjubkan. Kemampuan kamu luar biasa. Siapa yang mengajari kamu nak?”
“Ibu saya bu,” sambil melirik Ibu yang berada di sudut ruangan.
“Baiklah. Seharusnya kamu masuk di kelas balita. Namun, karena kemampuan kamu di atas rata-rata, kamu pantas masuk di kelas anak-anak. Selamat ya. Dan selamat datang.”
            Rasanya ingin menangis saat itu. Tapi malu. Langsung berlari memeluk ibu.
“Selamat sayang. Rajin-rajin berlatih ya.” Aku hanya mengangguk meng-iya-kan. Dan perjalanan menuju impian akan segera di mulai.
            Kemampuanku di dunia tari semakin matang. Sering sekali aku ikut pagelaran, lomb-lomba nasional dan juga internasional. Namaku juga cukup terkenal. Bahkan di umurku yag ke 15 tahun ini aku sudah menjadi pelatih tari.  Impian kita hampir tercapai bu!
“Melati, dipanggil Ibu Dewi tuh.” Kata teman sesama pelatih tari. Untuk apa?
“Halo, Melati.”
“Halo bu. Ada apa ya Ibu memanggil saya?”
“Saya ada kabar gembira untuk kamu. Berdasarkan hasil rapat dewan pimpinan Sanggar Tari Pertiwi, kamu berhak mendapatkan beasiswa untuk studi lanjut di Universitas Negeri jurusan Seni Tari. Hal ini didasarkan pada kinerja, kemampuan, dan dedikasi kamu di dunia seni tari dan juga sanggar seni ini. Selamat ya.”
            Masih tidak percaya bahwa aku akan kuliah. Beasiswa pula. Semenjak ditinggal ayah, tidak bisa terpikirkan bahwa akan melanjutkan studi. Sampai batas menengah atas saja sudah hebat menurutku. Aku harus kasih tau Ibu!
“Assalaamu’alaikum bu. Ibu dimana? Melati pulang.” Tidak ada jawaban.
Ternyata ibu di kamarnya.
“Ibu sakit? Udah minum obat?” muka Ibu pucat.
“Tidak apa-apa sayang. Ada apa? Kok sepertinya kamu sumringah sekali.” Dan aku menceritakan semua hal yang terkait dengan studi lanjutku.
“Alhamdulillah kalau begitu. Berarti tugas ibu sudah selesai. Kamu juga cukup dewasa. Jaga diri baik-baik ya. Teruskan cita-cita kita dulu. Ibu pergi nak. Assalaamu’alaikum.” Napas Ibu berhenti.
            Kepergian Ibu membuat separuh semangatku hilang. Butuh setahun lebih untuk bangkit dari keterpurukan ini. Untuk sementara, aku tidak mngajar tari dan minta setahun penangguhan masa kuliah. Andai Ibu disini. Aku harus semangat!
            Kesedihan itu telah berlalu. Sudah saatnya mengawali hari baru. Aku mulai masuk kuliah. Kegiatan juga semakin bertambah. Bukan hanya mengurus sanggar, mengajar tari, namun sudah ditambah dengan kegiatan kuliah dan organisasi.
            Tidak tahu mengapa aku bisa masuk ke oganisasi. Paling anti! Apalagi ini organisasi Islam. Sholat saja masih jarang, konon belajar agama pula. Entah! Aku hanya jatuh cinta dengan organisasi ini beserta orang-orangnya.
            Karena aku seorang penari, tidak cocok rasanya menari tapi mengenakan hijab. Tidak cocok rasanya. Tidak keren. Merusak makna tariannya. Di kampusku juga yang anak jurusan seni tari tidak ada yang mengenakan hijab. Bahkan “dilarang” dengan alasan merusak makna tari.
            Aku penasaran dengan hijab. Aku penasaran dengan orang-orang di organisasiku yang memakai hijab. Apa tidak panas? Seumur-umur, aku memakai hijab saat hari Raya saja. Bukan hijab! lebih tepatnya selendang. Teman-teman di organisasiku juga selalu menegur untuk selalu mengenakan hijab. Tapi, aku saja yang masih ngeyel. Baiklah! Akan aku coba pakai.
Cie, Melati tobat? Tumben.”
“Kamu sedang apa pakai hijab? Ini bukan ibu-ibu perwiritan. Ini tempat latihan tari. Keluar! Dan lepas hijab kamu! Atau kamu tidak boleh masuk kelas saya!” reaksi dosennya ekstrim. Mau tidak mau, aku lepas juga hijabnya. Baru juga satu hari pakai, sudah heboh se-antero jurusan.     
“Kok kamu lepas hijab lagi? Padahal tadi aku sudah senang banget lihat kamu berhijab.’ tanya salah satu teman dekat di organisasi.
“Banyak tantangan Rin. Susah. Banyak yang tidak suka.”
“Tidak apa-apa. Kan masih awalan. Besok dicoba lagi yaa. Istiqomah ya.” Baiklah,aku coba lagi!
“Munafik kamu! Buka tutup hijab. Mending tidak pakai. Malu sama hijab!”
“Kamu kenapa masih bandel, Melati? Keluar dan lepas hijab kamu!”
“Ini kewajiban saya sebagai muslimah bu. Ajaran agama saya bu. Saya lebih mentaati Tuhan saya. Saya lebih memiih keluar dari kelas Ibu. Terima kasih bu.”
“Tunggu! Masuklah!” Hore, aku menang!
            Keputusanku berhijab semakin mantap. Walaupun masih banyak sindiran, aku tetap tidak bergeming. Bahkan jiwa semakin kuat. Orang-orang kampus juga akan maklum dengan sendirinya.
            Pagelaran tari besar-besaran di jurusanku sebentar lagi akan dimulai. Seluruh mahasiswa wajib ikut. Namun, ada yang aneh. Yang bernama Melati dilarang ikut serta karena mengenakan hijab! Pernyataan apaan ini!
            Aku coba mendatangi kantor jurusan menanyakan perihal pengumuman tersebut.
“Hijab kamu bisa merusak reputasi jurusan kita Melati. Saat ini hanya kamu seorang yang mengenakannya.”
“Tapi bu, di luar sana banyak yang memakai hijab namun seorang penari. Ini kewajiban sama saya bu.”
“Maaf  Melati. Tidak bisa. Atau kamu mau melepas hijabnya, akan saya perbolehkan. Terima kasih.” Aku keluar dengan perasaan campur aduk tidak karuan penuh kebimbangan. Aku harus cari cara!
            Aku coba melobi pihak rektorat kampus tentang masalah ini. Namun hasilnya nihil! Mereka menyerahkan wewenang kepada jurusan. Hampir kalah! Jangan menyerah! Aku akan menarik dukungan dari tempat lain. Share kejadian yang tengah aku alami dan cerita tersebut menjadi viral! Sedikit lagi!
            Atmosfer dukungan semakin luas. Tekanan terus datang ke pihak kampus terutama kepada pihak jurusan. Kembalikan hak Melati untuk mengenakan hijab! Atau kami akan berdemo dan merusak citra kampus tuan-tuan semua. Begitu kata mereka. Masya Allah!
            Alhamdulillah, perjuangan tersebut membuahkan hasil! Pihak kampus mengizinkan aku ikut pagelaran dan juga mengenakan hijab. Dan hasilnya, aku menjadi penari terbaik dalam pagelaran tersebut. Ada hal yang lebih baik lagi yaitu semakin banyak mahasiswi yang mengenakan hijab di kampus terutama di jurusan. Lucu bu ingat masa-masa itu.
            Ada satu kabar lagi. Mungkin ibu tidak suka dengan keputusanku ini. Aku sudah berhenti menjadi penari bu. Semenjak menikah, aku sudah bertekad untuk merubah diri menjadi lebih baik lagi. Tidak akan lagi berlenggak lenggok di depan umum. Biarkan suami aku saja bu yang bisa bebas melihatku.
            Perihal sanggar yang pernah kita bangun dahulu sudah diambil alih dengan muridku waktu dulu. Biarkan dia saja yang mengelola. Ibu tenang disana ya. Assalaamu`alaikum bu.


Pusara Ibu, 11 Okober 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuplikan Buku Hujan Matahari (Karya Kurniawan Gunadi)

Rekomendasi Destinasi Wisata Sejarah di Aceh, Wajib Dikunjungi!

Pertolongan Allah Itu Dekat