Dampak

  Siapa yang menebar angin, maka ia yang akan menuai badai...
“Anak-anak . Apa yang sedang kalian lakukan?”
Caca dan Cici menjadi salah tingkah. Mereka langsung memegang benda lain yang ada disekitar mereka.
“Astaghfirullah. Apa ini? Kenapa kalian membuang sampah yang ibu suruh kumpulkan tadi ke laut sayang? Kan ada tong sampah.”
“Maafkan kami bu. Kami tidak tahu. Kami hanya ingin melihat rumah kita bersih. Maaf bu. Lagi pula bu, masyarakat sekitar juga membuang sampah di laut. Lautnya kan sudah kotor bu kita kotorkan saja sekalian.” Kata Cici yang umurnya lebih tua lima menit dari Caca.
            Hari ini adalah hari libur. Sudah menjadi hal lumrah bagi si kembar yang saat ini menginjak umur lima tahun pergi berlibur. Seperti hari ini, mereka diajak ke daerah pesisir yang terkenal kumuh di provinsi. Awalnya senang diajak berlibur. Namun, raut wajah seketika berubah melihat kondisi. Bu, kenapa kita liburan disini? Kira-kira seperti itulah kata hati mereka. Orangtua mereka, Bapak dan Ibu Handoko adalah aktivis lingkungan.
“Sayang, tidak boleh seperti itu. Mari sini, ibu ingin menceritakan sesuatu.”
“Asik,” seketika mendung hilang tergantikan mentari.
“Dengarkan baik-baik ya. Pada zaman dahulu...”  
***
            Alkisah, ada sebuah tempat dibawah laut yang sangat indah. Di dalamnya terdapat kerajaan laut yang dipimpin oleh seekor paus yang sangat bijaksana. Kawasannya meliputi seluruh wilayah lautan. Semuanya terkendali dibawah kendalinya. Warga-warga yang tinggal meliputi semua jenis makhluk yang terdapat di seluruh lautan. Mereka hidup sangat aman dan tentram. Hiu dengan ikan, paus dengan plankton, semuanya hidup berdampingan tanpa harus ada rasa takut. Semuanya terpenuhi. Suasana kekeluargaan sangat begitu terasa di kerajaan ini.
“Hai, apa kabar?” kata-kata itu sering keluar dari para binatang walaupun berbeda jenis. Hubungan dengan  kerajaan juga demikian. Tidak ada perbedaan diantaranya. Semua berjalan selayaknya.
            Kerajaan ini juga dilengkapi pertahanan yang sangat hebat. Para makhluk laut dilatih untuk pertahanan diri. Dan itu berlaku untuk semua. Begitu jugadengan pendidikan. Pihak kerajaan sangat memprioritaskan.
            Hubungan dengan makhluk lain, di daerah daratan misalnya juga aman dan damai. Tidak pernah ada konflik apapun. Semuanya saling memiliki ketergantungan satu sama lain membentuk metamorfosis mutualisme. Para makhluk laut hanya akan mati ketika mereka ditangkap. Itupun tidak akan banyak, karena para makhluk daerah luar seperti manusia contohnya hanya mengambil seperlunya.
“Hiduplah dengan damai rakyatku.” Begitulah kata-kata paus menjamin hidup rakyatnya.
            Namun, seketika semua berubah. Lama kelamaan, wilayah lautan menjadi tidak aman lagi. Laut tercemar. Dan ini akibat para makhluk daratan terkhususnya manusia!
“Bagaimana ini Baginda? Kerajaan laut saat ini semakin tidak terkendali, apa yang harus kita lakukan?” Seru ketua pimpinan prajurit dari jenis Baracuda saat rapat besar dengan para pimpinan di Kerajaan Laut.
“Di daerah selatan sangat parah Baginda. Alamnya rusak parah. Terumbu karang pada musnah. Para manusia eksploitasi besar-besaran. Banyak para makhluk yang kehilangann tempat tinggal. Mereka juga banyak kehilangan keluarga Baginda.” Lapor pemimpin dari daerah laut bagian selatan seekor ikan jenis ikan merah.
“Begitu juga dengan daerah utara. Manusia membuang sampah disana. Limbah-limbah pun juga. Banyak makhluk yang mati sia-sia. Mereka juga kelaparan Baginda. Yang biasanya bangsa hiu dengan ikan lain aman, saat ini hiu malah menjadi bangsa pemburu. Keadaan juga tidak terkendali. Kejahatan dimana-mana.” Lapor pemimpin dari daerah laut bagian utara.
“Hal ini juga berdampak di laut bagian dalam Baginda. Kami juga kekurangan pasokan makanan.”
“Kita harus melawan mereka Baginda! Harus!”, suasana di rapat juga semakin tidak tenang. Semuanya resah.
“Tenang semuanya tenang!” Baginda Raja mencoba menenangkan. “Tidak bisakah kalian sedikit tenang? Saya sudah membuat surat untuk para makhluk daratan. Sebar surat ini di kawasan yang kalian pimpin. Mengerti! Kita tunggu respon mereka. Jika tidak ada, baru kita bisa bertindak.” Rapat pun usai. Para pemimpin bergegas mengambil surat dan menyebarkannya.
            Surat telah disebar. Para makhluk laut menunggu respon dari daratan. Setelah ditunggu beberapa hari, tidak ada sedikitpun respon. Rapat kembali diadakan.
“Baginda Raja, tidak ada respon sama sekali. Apa yang harus kita lakukan?”
“Panggil semua prajurit dan para makhluk. Kita akan mengadakan perang besar-besaran. Ungsikan para betina dan anak-anak. Yang jantan wajib ikut berperang!”
            Semua betina dan anak-anak telah diungsikan. Sebelum berperang mereka berdoa terlebih dahulu kepada Tuhan. “Semoga mereka rasakan apa yang kita rasakan!”
            Para prajurit dan makhluk laut membentuk barisan yang sangat rapat. Salling mengokohkan. Kalian tahu apa yang terjadi? Mereka membentuk suatu gelombang pasang yang sangat besar dibantu juga dengan getaran dari pusat bumi. Gelombang ini membombardir daerah daratan menjadi luluh lantak. Banyak makhluk daratan yang mati.
“Kita sudah menjalankan tugas kita sebagaimana mestinya. Mari kita mengungsi juga dan kita bentuk kehidupan di tempat kita yang baru.” Seru Sang Baginda Raja. Para makhluk laut pun pergi meninggalkan tempat mereka yang lama.
            Lain cerita dengan para makhluk daratan terkhusus mannusia. Mereka mengalami kelaparan dan kehausan. Tetapi, mereka tidak menemukan apapun. Air sudah tercemar, persediaann makanan sudah habis karena para makhlut laut telah mengungsi. Banyak yang menjadi kanibal. Dan akhirnya jenis manusia punah.
***
“Selesai.” Ibu mengakhiri cerita.
“Ibu, mengerikan sekali. Kalau manusia musnah bagaimana? Aduh, gak bisa Cici bayangkan. Cici takut bu.” Cici mendekap ibunya erat.
“Caca juga bu.” Keluar butiran air dari mata beningnya.
“Sudah sayang. Sudah. Semoga kalian bisa mengambil hikmah dari cerita tadi. Mengapa ibu ajak kalian ke tempat ini? Agar kalian mengerti, kita ini juga bergantung dengan alam. Dan juga agar kalian lebih menjaga kebersihan. Berjanjilah sayang, kalian jagalah alam ini agar berguna untuk anak cucu kita nanti.” Ibu mendekap si kembar dengan butiran air yang juga keluar dari bola matanya.
TAMAT




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuplikan Buku Hujan Matahari (Karya Kurniawan Gunadi)

Rekomendasi Destinasi Wisata Sejarah di Aceh, Wajib Dikunjungi!

Pertolongan Allah Itu Dekat