Antologi Kertas

Aku Rena. Suka kertas. Tidak tau mengapa bisa suka. Mungkin ini semua gara-gara Rino, sahabatku. Rino suka kertas. Sudah lama. Di kamarnya juga banyak kertas. Kebanyakan yang warna-warni. Biasanya dia membuatnya menjadi bentuk-bentuk yang lucu. Kemudian dihias di kamarnya. Atau bentuk-bentuk yang lucu itu diberikan ke aku. Aku suka. Dan suka Reno juga.
            Aku dan Rino sudah berteman sejak kecil. Berawal dari kedua orangtua kami yang sudah bersahabat dari kecil juga, mamaku dan mama Rino. Mereka berdua tidak bisa terpisahkan. Lengket kayak kertas perangko. Alhasil, mereka bersepakat setelah menikah nanti rumahnya bersebelahan. Otomatis, kedua anaknya juga ikut-ikutan “tradisi” turun temurun dari orangtuanya, yaitu “tradisi” persahabatan.
            Aku sayang Rino, banget. Dia selalu ada untukku di saat aku sedih. Menghiburku dengan kertas-kertas lucunya.
“Ena, kenapa?” Ena, panggilan sayang Rino untukku.
“Ino, lihat ini. Kertas bentuk burung yang kamu kasih samaku robek dibuat temenku/”
“Sudah na, jangan nangis. Nanti aku buatkan yang baru lagi. Lebih bagus dan lebih indah. Tenang saja ya.” Dan setelah itu, aku berhenti nangis.
            Aku dan Rino seperti perangko juga. Kemana-mana selalu berdua. Pergi dan pulang sekolah sama, ke kantin, jalan-jalan. Tidak ada yang berani memisahkan. Kebanyakan orang beranggapan kalau kami ini adalah kakak adik. Apalagi nama kami yang hampir sama. Rena dan Rino. Sampai suatu ketika, Rino memutuskkan pergi dari hidupku, untuk sementara. Dia akan melanjutkan studinya di pulau seberang.
“Na, berjanjilah jangan pernah sedih. Jangan nangis, jangan cengeng. Selalu kuat ya. Nih, aku kasih kertas bentuk hati. Hehe... Agar kamu selalu ingat aku. Kan aku gak bisa selalu ada untuk kamu. Aku akan kembali. Tenang saja ya.”
“Baiklah, aku akan menunggu.”
“Jaga diri ya Na. Aku pergi. Setelah sampai, aku akan langsung menghubungi kamu ya. Dadah Ina.”
Dadah No. Hati-hati!” Dan aku melihat punggung Rino yang semakin lama semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Masuk ke dalam bandara dan check in karena sekitar 1 jam lagi pesawatnya akan berangkat.
Beberapa jam kemudian, masuk pesan dari Rino jika dia sudah sampai tujuan. Na, aku sudah sampai. Nanti aku menghubungi kamu lagi ya. Sayang kamu Na. Tumben ini anak romantis. Tapi aku juga senang. Harapan cintaku terbalas semakin besar.
            Semakin lama, hubungan kami semakin dekat. Mungkin bukan hanya sebatas “sahabat”. Menurutku. Karena Rino semakin lama semakin mesra. Ditambah lagi setiap bulan dia selalu mengirim surat beserta kertas buatannya. Kertas-kertas ini aku kumpulkan dan semakin banyak seiring dengan harapan yang semakin meninggi. Dan hatiku semakin berbunga-bunga. Seperti surat yang baru tiba hari ini. Kertas Rino dan tentu saja suratnya!
Na, sayang kamu.
                                                                                    Yang terkasih,

                                                                                    Ino
            Namun beberapa bulan terakhir ini ada yang beda dengan Rino. Dia sering hilang timbul dari peredaranku. Seperti saat chat yang super lama membalasnya, semakin cuek, idak peduli, tidak perhatian, dan juga komunikasi kami yang semakin lama semakin sangat jarang. Harapan yang pernah ada dipermainkan! Maksud kamu apa No? jangan permainkan aku, batinku. Aku coba untuk stalking media sosial dia. Ada yang aneh! Kenapa Rino semakin begini? Perkumpulan macam apa ini? LDK? Lembaga Dakwah Kampus? Ada apa? Apakah dia terkena aliran sesat? Batinku khawatir. Aku coba untuk chat Rino perihal yang aku temukan di media sosialnya. Mumpung dia lagi online juga.
“Ino!”
“Wa’alaikumussalam Na. Kalau mau bicara ucapkan salam ya.”
“Oke. Assalaamu’alaikum Ino.”
“Nah, gitu dong. Wa’alaikumussalam. Ada apa Na?”
“Kamu kemana aja No? Kok menghilang?”
“Menghilang kemana Na? Aku masih tetap disini. Jangan aneh!”
“Kamu yang aneh. Ingat satu hal analogi ini. Kertas itu kalau sudah kusut gak akan bisa kembali lagi. Gak akan bisa mulus lagi.”
“Siapa yang bilang kalau kertas kusut gak bisa mulus lagi?”
“Aku...”
“Sok tau kamu Na. Coba deh, kamu semprot kertas tersebut pakai cairan pewangi dan pelicin pakaian. Kemudian kamu setrika itu kertas. Pasti balik lagi.”
“Teori darimana itu?”
“Aku sudah mencobanya. Dan mulus.”
“Masa? Gak akan mungkin. Coba foto hasilnya.”
“Iya. Aku coba berkreasi dengan kertas-kertas di kos aku. Kan banyak yang berserakan. Aku coba deh. Dan bisa.”
“Kertasnya kan bakalan basah. Aneh. Baiklah, nanti aku akan mencobanya. Makin aneh kamu.”
“Terserah kamu deh. Kamu gak tau maksudnya ya.”
“Aku tau. Tentang hati kan?”
“Iya, terus? Intinya bukan kertasnya yang gak bisa mulus lagi. Tapi, kitanya aja yang gak mau beli pewangi dan pelicin pakaian dan nyetrika kertas itu.”
“Laki-laki mah gitu pemikirannya. Mau ambil enaknya dan gak mau ribet.”
Shut up!
“Kok jadi pembahasannya berbalik menyerang aku sih! Ya, walaupun bisa balik seperti semula (menurut kamu) bukan berarti sesuka hatimu buat kertasnya berkali-kali kusut kan.”
“Maksudnya?”
“Pikir aja sendiri! Kamu jahat No! (end chat)
            Rino aneh! Aneh! Aneh! Masa kamu gak merasa aku suka kamu? Sudah lama No! sudah sejak kita kecil! Sadar No! Aku menangis. Dan ternyata Rino masih membalas chat aku tadi.
“Ena, segera pakai jilbabnya ya. Mau kapan lagi?” Dan aku hanya me-read pesan Rino. Ada apa? Kenapa disuruh pakai jilbab? Rino kamu berubah!
            Perkataan Rino tentang menyuruhku untuk memakai jilbab terngiang-ngiang di pikiran. Aku pun mencari-cari referensi tentang jilbab. Dan beberapa lama kemudian, aku memutuskan untuk berjilbab! Dan aku juga mencoba mengikuti kegiatan yang Rino ikuti di kampusnya. LDK. Lembaga Dakwah Kampus
            Semakin lama, aku semakin tenggelam di dalam kegiatan dakwah. Semakin lama bayangan Rino pun semakin hilang dari ingatan. Tidak sedikitpun mengingatnya. Komunikasi di antara kami juga tidak pernah lagi. Rino menghilang entah kemana.
***
            Tanpa disangka-sangka, disaat aku sudah melupakan Rino, amplopnya datang beserta harapan dan perasaan yang kembali (lagi). Didalamnya terdapat dua surat, surat untukku, untuk papa dan kertas dua buah, yang lecek satu dan yang kertas masih mulus satu. Aneh, tumben Reno mengirim surat sama Papa. Dan apalagi ini kertas dua buah. Batinku. Isi surat dari Rino hanya sedikit.
Assalaamu’alaikum Ena,
Seiring denga surat ini. Tolong berikan surat ini untuk papa kamu ya. Jangan dibaca! Terima Kasih.
                                                                                                            Tertanda,

                                                                                                            Rino
Aku penasaran!
“Pa, ini ada surat dari Rino.”
“Tumben Na. Ada apa ya?”
“Gak tau Pa. Baca aja deh.” Aku masuk ke kamar. Ada apa ya Ren? Kamu buat aku penasaran parah, batinku. Aku coba untuk tidak memikirkan (kembali) Rino (lagi).
            Selang beberapa bulan, aku yang sedang di pengajian rutinan dengan para sahabat dikagetkan dengan telepon dari orang rumah.
“Na, cepat pulang ya. Ada Rino.” Pesan Ibu dari seberang suara telepon. Reno? Kenapa lagi? Batinku.
            Aku segera bergegas pulang ke rumah. Ada apa lagi ini? Aku terus membatin.
            Sesampainya di rumah aku kaget karena rumahku sudah ramai. Ada Rino dan kedua orangtuanya.
“Ada apa ini, Ma, Pa?” Aku penasaran.
“Duduk sini Na. Papa ingin bicara sama kamu.” Aku mendekati Papa dan duduk di sampingnya.
“Na, masih ingat kan surat yang Rino kasih ke Papa beberapa bulan yang lalu? Nah, Rino bilang ke Papa kalau dia ada niat untuk menikahi kamu. Dan Papa sih say Yes. Tapi kembali lagi ke kamunya. Kamu mau apa enggak?”
Aku kaget. Terharu. Ingin nangis. Tapi tetap ditahan. Inikah jawaban doa-doaku?
“Mau kan Na?” Kata Rino.
“Bismillah. Aku mau Ino.”
“Alhamdulillah.” Kata orang seisi rumah secara serentak.
“Na, maafkan aku ya kalau aku sempat memberi harapan padamu. Tapi setelah itu aku pergi menghilang tanpa kabar. Maaf, karena aku pernah membuat kertas kamu lecek, kusut, bahkan mungkin sampai rusak. Aku tau itu tidak akan pernah bisa kembali lagi seperti semula. Maafkan aku. Hal tersebut salah. Maka dari itu, aku mau mengganti kertas itu dengan yang masih baru, masih bersih, dan masih mulus. Kelak kertas itu akan ditulis dengan cerita-cerita yang baru dan pastinya baik. Yang menjaganya agar tetap baru, mulus dan bersih. Kemudian kertas itu diikat dengan ikatan halal. Terima kasih Na.”
Air mata ini tidak bisa terbendung lagi. Terharu. Aku peluk kedua orangtuaku dengan sangat bahagia. Ya Rabb, terima kasih untuk semuanya.
“Jeng Mira, akhirnya kita besanan juga ya. Makin dekat dan makin lengket deh.” Kata mamaku dan semua tertawa.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cuplikan Buku Hujan Matahari (Karya Kurniawan Gunadi)

Rekomendasi Destinasi Wisata Sejarah di Aceh, Wajib Dikunjungi!

Pertolongan Allah Itu Dekat